Jumat, Maret 05, 2010

Bicara Kita Bisa, Bertindak Siapa Bisa?

Nicholas namanya. Seorang gardener atau tukang kebun di Belgia. Ia datang seorang diri ke Indonesia dengan menyandang ransel besar berisi sleeping bag, kelambu, pakaian ganti, dan buku bacaan. Sebelum semua itu dikemas, ia batalkan beberapa order potong rumput dan tata taman. Ia tinggalkan pekerjaan dan tolak keuntungan.

Malam itu, Nicholas hadir di camp pelindung iklim yang dibangun Greenpeace bersama masyarakat di Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau. Meski ransel di pundaknya lebih tinggi dari kepalanya, ia tetap tersenyum dan bersemangat. “Welcome to Indonesia,” kata seorang teman Indonesia sembari menjabat tangannya dengan hangat.

Nicholas bukan dapat pekerjaan baru atau baru memenangkan proyek yang akan mendatangkan uang lebih besar dari penghasilannya sebagai tukang kebun. Di Desa Teluk Meranti itu, ia justru mengangkat kayu jambu-jambuan (Myrtaceae) seberat lebih dari seratus kilogram dengan cara menyeretnya sejauh dua kilometer ke titik pengedaman kanal. Selain kayu sepanjang empat meter itu, ia juga rela mengangkut karung pasir seberat tujuh puluh kilogram sejauh tiga ratus meter. Itu dilakukannya berulang kali.
Nicholas bukan satu-satunya relawan asing Greenpeace yang ikhlas meluangkan waktu hanya sekadar mengangkat kayu dan mengangkut karung pasir. Mereka ada sekitar 15 orang yang berasal dari Belgia, Finlandia, Spanyol, Brazil, Thailand, Philipina, Australia, India, serta Selandia Baru. Namun relawan Greenpeace dari Indonesia lebih banyak lagi, sekitar 40-an orang. Mereka datang dari pulau Jawa, Kalimantan, termasuk Riau dan Medan.

Di Camp itu juga ada Bujang BK berusia 23 tahun. Di kampungnya, di Desa Kuala Cinaku, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, Bujang hanyalah tukang bangunan. Setamat kelas 5 SD, ia tak lagi melanjutkan sekolah karena penghasilan orang tuanya tak cukup. Kini, sehari-hari ia menjadi tukang di desanya. Ia pun hanya ahli memasang batu-bata, kuda-kuda, dan plester dinding.

Kehadirannya di camp Greenpeace itu diawali dari perkenalannya dengan aktivis lingkungan di desanya tahun 2007 lalu. Meski hanya tukang bangunan dan tidak tamat SD, Bujang sadar, hutan yang sudah rusak membuatnya berpikir ada pekerjaan yang lebih mulia. Walau pekerjaan itu tak menghasilkan uang atau membuatnya lebih kaya. “Aku jadi pecinta alam dan mau bergabung aksi di sini. Walau tanpa gaji alias relawan, aku rela demi masyarakat Riau dan dunia,” kata Bujang.

Apa yang dilakukan Nicholas dan Bujang adalah sebuah potret nyata, ada komitmen dari penghuni planet ini. Komitmen untuk menjaga agar hutan dan lingkungan tetap menghasilkan udara bersih. Udara bersih untuk anak dan cucu mereka. Tak peduli, mereka berasal dari negara asing, atau hanya tukang bangunan.
Malu rasanya menatap sorot mata mereka. Sementara pemerintah Indonesia tak juga sadar, kecuali sadar untuk berkata-kata.


Bertolak Belakang
Di Pittersburg, Rusia—dalam pertemuan G-20—Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara yakin menyatakan akan mengurangi produksi emisi karbon hingga 26 persen pada tahun 2020. Bahkan jika ada dukungan dari masyarakat internasional, pengurangan emisi karbon bisa mencapai 41 persen.

Dalam pemaparannya, Indonesia akan mencapai itu melalui lima langkah: penghentian deforestasi, pengendalian kebakaran hutan, pengawasan pembakaran lahan gambut, pengolahan daur ulang sampah, dan memaksimalkan penggunaan energi alternatif.

Memang tak heran, Presiden Indonesia yang menjabat kedua kalinya ini lebih senang berbicara daripada bertindak cepat. Sejumlah kalangan pun tak meyakini SBY akan mengurangi emisi karbon demikian besar di tahun 2020. Bahkan ketidakyakinan itu pun disampaikan menteri lingkungan Inggris saat berkunjung ke Riau pertengahan November lalu.

Teguh Surya, perwakilan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang hadir di pertemuan iklim PBB di Kopenhagen minggu kedua Oktober ini bahkan mengatakan, perwakilan Indonesia tak punya misi yang jelas. “Delegasi Indonesia tak paham dengan persoalan yang kita dihadapi,” katanya kepada Tempo, Jumat (11/12).
Kekaburan dari komitmen SBY terhadap pengurangan emisi karbon sangat jelas. Hal ini dibuktikan dengan perusahaan-perusahaan yang terus melakukan penghancuran hutan alam dan mengambil kayu alam untuk produksi kertas. Penghancuran hutan paling banyak berlangsung di Riau, Kalimantan, dan Papua.
“Ternyata di akhir tahun 2009 ini, peredaran kayu alam Riau kembali merajalela. Departemen Kehutanan secara diam-diam telah mengeluarkan 30 rencana kerja tahunan (RKT) kepada perusahaan kayu di Riau untuk menebang sekitar 23 juta meter kubik kayu,” demikian laporan Kompas, 2 Desember 2009.

Laporan itu juga secara detail dan gamblang menyebutkan kesibukan truk-truk kayu balak di sepanjang jalanan Riau. “Tak tanggung-tanggung, dari 30 RKT itu, Dephut telah memberi izin membabat 12 juta meter kubik kayu dari hutan alam. Bila berkunjung ke Riau saat ini, setiap saat Anda pasti akan berpapasan dengan truk-truk raksasa pengangkut kayu alam. “Kondisi ini persis seperti pada tahun 2003-2005, tatkala pembalakan liar tengah marak-maraknya.”

Di luar kebijakan pro-pengrusakan itu, apa yang terjadi di tempat penebangan? Berton-ton karbon dioksida akan lepas ke atmosfir dan menyebabkan efek rumah kaca. Ini kembali memperkuat pernyataan mantan Kepala BMG Riau, Blucher Doloksaribu, Juni lalu, bahwa suhu udara minimum di Riau meningkat dua derajat celsius dibanding kota-kota industri lain di Indonesia.

Sementara itu, Dewan Nasional Perubahan Iklim juga melaporkan bahwa pengeringan lahan gambut serta deforestasi merupakan penyebab utama tingginya tingkat emisi karbon Indonesia. Emisi karbon ini telah berkontribusi besar terhadap perubahan iklim global. Besaran emisinya mencapai 83 persen dari total emisi karbon Indonesia.

Lembaga ini juga menegaskan perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan aktivitas penebangan di Indonesia juga besar menyumbang emisi. Karena itu, institusi ini menawarkan penerapan kebijakan nol deforestasi (nol penghancuran hutan).

Masalah sudah diidentifikasi, solusi juga sudah ditawarkan, bahkan oleh lembaga bentukan presiden. Sejak dilantik, SBY berkomitmen menjadikan isu lingkungan dalam program kerja 100 hari pertamanya. Memasuki pekan pertama Desember, waktu untuk merealisasikan janjinya sudah 50 hari berlalu.

Sementara di belahan dunia lain, sejumlah perusahaan besar yang biasa membeli produk-produk minyak kelapa sawit dan kertas produksi Indonesia, sudah banyak membatalkan kontrak pembelian. Sebab mereka yakin, produk kertas atau kelapa sawit itu dihasilkan dengan menciptakan konflik masyarakat, terbunuhnya beberapa penduduk, menghancurkan hutan, dan membinasakan orang utan dan binatang yang dilindungi lainnya.

SBY, yakinkan kami bahwa Anda bisa berbuat dengan menghentikan aktivitas penghancuran sisa hutan alam oleh perusahaan. Segera.

*Diterbitkan Bahana Mahasiswa Universitas Riau, edisi Desember 2009

2 komentar:

Erwin Jahja mengatakan...

Tuan presiden kita kan bisanya cuma janji dgn topeng kemunafikan. kalau ingkar janji itu namanya wanprestasi,menipu..eh malah dpt penghargaan komunikasi terbaik,aneh!

ZAMZAMI, SE mengatakan...

Begitulah tuan presiden. Tapi kita tak perlu bersedih, tiran akan segera "terjungkang" karena rakyat tidak tidur.