Jumat, Desember 31, 2010

Pelangi di Kapal Para Ksatria

Setelah perjalanan panjang dari Pekanbaru, Jakarta lalu disambung Bangkok, Thailand, seyogyanya itu sangat melelahkan apalagi dilakukan di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Tetapi entah kenapa, yang terasa di dada ini justru semangat yang menggebu-gebu.

Sore itu setiba Bandara Internasional Suvarnabhumi, sebuah taxi mengantar kami, rombongan dari kantor perwakilan Indonesia, Greenpeace Asia Tenggara melaju cepat ke Bangkok Port, tempat di mana sebuah kapal bersejarah sepanjang perjuangan membela lingkungan bersandar.

Rainbow Warrior, kapal berbendera Belanda milik Greenpeace itu melego jangkar dengan tenang. Kebesaran nama kapal inilah yang membuat saya beserta tiga orang teman Indonesia lainnya begitu bersemangat. Maklum, selama ini kami hanya mendengar harumnya sejarah perjuangan melawan perusak lingkungan tanpa pernah menaikinya. Dan hari itu, bukan hanya menaikinya, tetapi kami hidup bersama 15 awak kapal dari berbagai negara selama 7 hari lamanya.

Rainbow Warrior, dimana saya hidup bersamanya seminggu penuh itu pertama kali diluncurkan pada 10 Juli 1989. Empat tahun sebelumnya, kapal yang asli tenggelam pada 1985 setelah dibom agen rahasia Perancis karena para aktivis Greenpeace bersama Rainbow Warrior memprotes percobaan nuklir Perancis di Pasifik. Seorang fotografer di dalam Rainbow Warrior meninggal dalam serangan itu.

Tenggelamnya Rainbow Warrior menyebabkan kemarahan warga dunia dan mereka bekerjasama membantu membangun kapal baru yang membuktikan “Anda tidak bisa menenggelamkan sebuah pelangi” – You Can’t Sink A Rainbow”. Dan perlawanan percobaan nuklir di Pasifik pun berhasil. Bertahun-tahun berikutnya, kapal dan sejarahnya ini, dedikasi para awak dan jutaan supporter Greenpeace terus berjuang melawan perusak lingkungan, perburuan paus, perang, perubahan iklim di seluruh perairan dunia.

Malam pertama di kapal, 15 peserta pelatihan kampanye dari empat negara, Indonesia, Filipina, Thailand dan China yang beruntung itu saling berkenalan satu sama lain, juga dengan para awak kapal. Dan pelangi itu ternyata bukan hanya tertulis di lambung kapal, tetapi juga para awak yang berasal dari berbagai negara di antaranya Jerman, Ghana, Tunisia, Belanda, Spanyol, Thailand, Inggris, Filipina, Swedia dan Rusia.

Peduli lingkungan bukan hanya tampak dari kampanye-kampanye Greenpeace di media. Di kapal, siklus hidup juga didasarkan pada keramahan lingkungan. Seperti membedakan sampah organik dan non-organik. Sampah non-organik pun dipisahkan pembuangannya berdasarkan sampah-sampah plastik, kaleng dan kertas yang bisa didaur ulang. Begitu juga penggunaan air harus dihemat dan itu berlaku dari sang Kapten yang memiliki otoritas kepemimpinan sampai relawan. Begitu juga tugas piket bersih-bersih kamar mandi, ruang makan hingga dapur.

Hari pertama latihan, kami berlayar hingga beberapa mil menjauh dari daratan Bangkok dan melego jangkar untuk 6 hari kedepannya. Hampir setiap hari, saya menikmati suasana sunrise di dek depan. Dan di permukaan laut yang jernih, ratusan bahkan ribuan jelly fish atau ubur-ubur berimigrasi dengan teratur dan bergerak lembut. Bahkan di hari ketiga, Zulfahmi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara yang juga ikut dalam pelatihan itu sempat melihat beberapa ikan lumba-lumba merah jambu.

“Betapa indahnya harmoni kehidupan laut yang damai ini,” pikirku dalam hati. Namun tiba-tiba saya menggelengkan kepala dan mengumpat dalam hati, “Ikan-ikan rentan itu kini menghadapi bencana serius,”. Bukan hanya karena pemanasan global yang merusak ekosistem bawah laut, jauh dari itu, penggunaan energi kotor batubara di kawasan industri terbesar di Thailand, Map Ta Phut estate di Provinsi Rayong.

Penggunaan batubara untuk pembangunan energi baik di Map Ta Phut maupun di berbagai negara termasuk Indonesia di Cirebon telah terbukti efektif mendorong perusakan ekosistem laut dan berdampak domino pada mata pencaharian masyarakat nelayan dan mengubahnya menjadi kemiskinan. Belum lagi dampak kesehatan dan pemanasan global dari emisi karbon yang dihasilkan. Padahal ada sumber energi yang sedang berkembang pesat di Eropa, yakni panas energi matahari, panas bumi dan angin. Semuanya terbukti rendah emisi karbon dan lebih ramah lingkungan.

Kegundahan dan rasa geramku terhenti saat seorang kawan dari China memberitahu bahwa peserta harus segera berkumpul di ruang utama untuk pelatihan. Sambil menatap ubur-ubur yang bergerak lembut, saya pun berlalu ke dalam.

Selama di kapal, saya suka mendengarkan pengalaman para kru kapal mengarungi lautan untuk kampanye hijau dan damai. Satu di antara cerita itu adalah Mehdi, dari Tunisia yang juga seorang muslim. Meski pekerjaannya di kapal sebagai mekanik kapal karet yang berpanas-panas dengan matahari tengah lautan, ia tetap berpuasa. Mehdi sudah lebih dari 18 tahun mengarungi lautan bersama kapal-kapal Greenpeace, baik Rainbow Warrior, Esperanza maupun Arctic Sunrise. Dan kali ini, adalah pelayaran terakhirnya bersama Rainbow Warrior. Sebab tahun depan, rencananya Kapal Rainbow Warrior yang ketiga akan diluncurkan.

Di hari ketiga, kami berlatih bagaimana menggunakan kapal untuk berkampanye dan menyebarkan berita hingga ke seluruh dunia. Termasuk bagaimana mengemudikan sebuah kapal karet bermesin. Dan ternyata bagi saya orang daerah dari kota yang baru berkembang di Pulau Sumatera, ternyata rumit. Dan itu perlu komunikasi yang super intensif antarsatu bagian dengan bagian lainnya di kapal. Juga harus bisa memahami satu per satu teknologi canggih yang ada di Kapal Rainbow.

“Wah bagaimana dengan kapal yang paling canggih teknologinya seperti Arctic Sunrise yang jika berlayar di lautan kutub tidak akan memecah es yang dilewatinya. Pasti saya akan terlihat makin katrok,” pikirku sambil tertawa.

Pelajaran-pelajaran selama latihan membuat kepalaku makin bergairah. Banyak ide baru dan gambaran-gambaran sebuah kampanye internasional yang tentu saja memperkaya pengetahuanku. Gairah itu pun meledak-ledak, seperti ingin segera saya aplikasikan dalam kehidupan. Setidaknya bagaimana harus konsisten hidup dengan standar-standar ramah lingkungan.

Meski demikian bergairah di kepala, tidak bagi lambungku yang tidak terbiasa berlayar berhari-hari. Hari keempat, tiba-tiba berkontraksi. Saya mabuk laut dan itu cukup menderita. Tapi tenang, di kapal juga ada kru khusus untuk urusan kesehatan. Namanya Lesliy, asal Australia dengan penuh perhatian memberiku pengarahan dan obat anti-mabuk laut. Meski ada ruang khusus untuk yang sakit, saya berusaha untuk tidak masuk ke dalamnya. Jika saya masuk, tentu saja banyak pelajaran yang saya lewatkan. Dan secara pribadi, itu merugikan. Mabuk laut juga dialami peserta perempuan dari Filipina dan dia harus mengalaminya selama tiga hari.

Hari terakhir pelatihan adalah tanggal 9 September, atau satu hari sebelum lebaran Idhul Fitri. Namun saya dan 3 perwakilan kantor Indonesia lainnya harus pamit lebih awal pada tanggal 8 September. Sebab kami tetap ingin merayakan lebaran bersama keluarga di Indonesia, ada yang Jakarta ada juga yang melanjutkan penerbangan dari Jakarta ke Pekanbaru. Dan itu berarti tetap saja tanggal 9 saya baru akan ada di Pekanbaru.

Tapi tiba-tiba saya kembali terpikir, bagaimana dengan Mehdi yang harus merayakan Idhul Fitri di Kapal Rainbow. Atau para kru kapal yang harus merayakan Natal atau hari keagamaannya di kapal, di tengah samudera? Saya pun teringat pada sebuah ramalan Indian kuno yang mengatakan, “Akan tiba saatnya bumi menjadi sakit akibat keserakahan umat manusia, dan sekelompok ksatria akan turun dari pelangi untuk menyelamatkan bumi.”

*Tulisan ini dimuat di Majalah DiveMag Indonesia edisi Desember 2010. Silahkan follow twitter majalahnya di @divemag_indo

Minggu, Oktober 10, 2010

Tangan Kanan Menhut Menanam, Tangan Kirinya Menebang

Setelah berjam-jam terbang di atas hutan Riau pada 23 September 2010 kemarin, Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan mengaku miris. Miris pada kondisi hutan yang terbakar, rusak dan hancur. Dan ia mengaku, menyaksaikan langsung perambahan hutan dan terbakarnya kawasan hutan. Dan itu ia saksikan dari atas bumi di titik-titik koordinat GPS yang ditetapkan oleh para pengusaha perusahaan besar.

Setelah capek terbang, ia pun meluncurkan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi atau KPHP Tasik Serkap Besar seluas 513.276 hektar, sebuah model pengelolaan kawasan hutan untuk mengakomodir tuntutan masyarakat, perusahaan dan para aktivis lembaga swadaya masyarakat. Apalagi kawasan Semenanjung Kampar direncanakan sebagai pilot project untuk kerjasama penurunan emisi pemerintah RI-Norwegia yang diteken pada akhir Mei lalu. (di sini)

Peluncuran itu dihadiri seratusan masyarakat dan para pihak di antaranya pejabat tinggi di daerah seperti Gubernur Riau Rusli Zainal, Bupati Pelalawan dan perwakilan Bupati Siak. Juga hadir Direktur Utama PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin dan pejabat dari Sinar Mas Forestry. Sementara itu juga terlihat sejumlah LSM terlihat aktivis Greenpeace, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Scale up dan WWF. Padahal mereka tidak mendapat undangan resmi. LSM saja tidak diundang, lalu bagaimana masyarakat yang notabene selaku sasaran utama dari kebijakan kehutanan? Tentu saja luput dari undangan.

Namun melihat pentingnya deklarasi tersebut dan untuk update kampanye penyelamatan Semenanjung Kampar, para aktivis LSM itu pun mengajak masyarkat terutama dari Desa Teluk Meranti untuk hadir. Seharusnya ada enam perwakilan masyarakat yang hadir mendengarkan pidato pak menteri, namun dua warga lainnya tertahan di luar gedung karena hanya beralaskan sendal. Sendal dilarang masuk ke kantor gubernur.

Tibalah waktunya pak menteri memberikan sambutan. Namun Menteri dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini malah memilih untuk bercerita. Cerita ini pun dimulai dari aktifitasnya di luar negeri baik pada saat sekarang bertugas sebagai Menteri Kehutanan maupun ketika masih remaja dulu.

“Dulu ketika saya ke Korea hanya terlihat gunung-gunung batu. Namun pas sekarang ke sana, tidak lagi terlihat lagi, justru yang tampak gunung-gunung yang hijau sepanjang mata memandang. Saya heran dan bertanya kepada pejabat pemerintah Korea. Ya, kalau di Indonesia, samalah dengan Saya, Menteri Kehutanan. Pejabat itu mengatakan, sekarang dengan batang pohon, kita bisa menghasilkan uang. Mereka pandai memelihara lingkungan dan pandai bersyukur,” begitulah kira-kira pak menteri berkisah.

“Saat saya ke tempat anak saya yang belajar di Australia (Pak Menteri menyebut nama kota, tapi saya lupa). Di kedutaan ada pohon. Dan pejabat di sana bilang, jangan main-main dengan pohon di sini, pak. Kenapa? Kalau di sini mematahkan ranting saja harus lapor ke pemerintah. Kalau tidak, bisa didenda. Bayangkan di sana saja mematahkan ranting saja bisa kena denda. Betapa bagusnya mereka menjaga lingkungan. Sementara di sini, saya tadi terbang melihat masih ada hutan yang terbakar. Kita kurang bersyukur,” demikianlah kira-kira pak menteri bercerita.

Ia pun terus bercerita. Berikutlah kira-kira. “Untuk itulah sejak awal saya berpikir, banyaknya pekerjaan di kementerian kehutanan, singkatnya dibagi tiga, di antara penanaman pohon atau restorasi. Inilah program yang terus saya lakukan hingga sekarang. Bahkan saya sangat senang dengan bapak Kapolri yang selalu mengajak masyarakat untuk menanam pohon.” Cerita pak menteri ini, sejak awal direkam atau disaksikan sejumlah wartawan televisi, radio dan cetak yang hadir menyaksikan pencanangan KPHP itu.

Sepanjang pak menteri berkisah, sepanjang itu pula ingatan saya tertuju pada 17 izin penebangan hutan kaya karbon dan bernilai tinggi konservasi di hutan-hutan Riau ia keluarkan sekitar bulan Maret dan diketahui publik pada awal Juli lalu. Greenpeace sendiri memperkirakan izin yang menghalalkan penebangan pohon sekitar 10 juta meter kubik dari 17 konsesi baru. Dari 17 konsesi itu, 11 konsesi milik Sinar Mas dan 6 konsesi milik APRIL. (di sini)

Lalu apa gunanya Anda bicara soal penanaman sementara hal yang sebaliknya, memberikan izin penghancuran hutan juga Anda lakukan, pak menteri? Bukankah masalah HTI milik PT RAPP di Semenanjung Kampar yang kemudian dikenal di belahan dunia pada akhir tahun 2009 juga diterbitkan oleh kementerian Anda? Meski disahkan oleh pejabat sebelum Anda. Namun pada Maret atau April 2010, melalui tangan Andalah, izin penghancuran hutan di sebelah konsesi PT RAPP itu diterbitkan. Padahal nyata-nyata kedalaman gambut di areal itu lebih dari tiga meter dan itu dilindungi oleh undang-undang. Dan Anda sendiri baru-baru ini mulai berpikir tentang pentingnya gambut dilindungi termasuk pada 7 September kemarin dalam siaran pers dari kantor Anda.

Saat memori saya sibuk membuka lembaran-lembaran izin penebangan hutan yang telah terbit dan berdebat imajiner dengan Anda, tiba-tiba saya terhenti dan kembali fokus cerita yang terus Anda kisahkan. Begini kira-kira kutipannya. “Saya tadi juga melihat pusat pembibitan milik perusahaan. Dan ini yang seharusnya kita lakukan. Kedepan kita akan membuat nursery (pembibitan) dan ini akan kita canangkan tahun depan.”

Saya pun tersentak dengar cerita itu. Bukan kah pembibitan sudah diinisiasi oleh masyarakat Teluk Meranti beberapa bulan lalu dan jumlahnya sekitar 9 ribu bibit (di sini). Kenapa inisiasi yang didukung LSM ini tidak mendapat perhatian dari pak menteri? Apakah karena masyarakat tidak bisa mendanai helikopter? Ya, memang logis, masyarakat tak mampu mendanai biaya heli yang satu jam-nya sekitar US$ 1.800.

Maafkan saya pak menteri. Cerita Anda hanyalah pepesan kosong belaka pak menteri. Ibarat tangan kanan Anda menanam, tapi tangan kirinya menebang. Tapi kerja tangan kiri Anda sudah menebangi sekitar 112 ribu hektar hutan Riau. Sementara tangan kanan Anda, baru akan memulai menanam. Bisakah tangan kanan Anda menghutani kembali hutan-hutan di Riau itu sebelum masa jabatan Anda habis atau sebelum ajal Anda, pak menteri? Termasuk gundulnya hutan di kawasan Bukit Tigapuluh, sebuah kawasan bagi habitat harimau dan gajah Sumatera. Ketika Anda berhenti bercerita, Anda pun berharap para LSM untuk mengawasi pengelolaan Semenanjung Kampar.

Dan ketika seorang masyarakat Teluk Meranti menyela sopan konfrensi pers dan bertanya tentang bagaimana dengan nasib masyarakat dalam pengelolaan KPHP itu, Anda pun menjawab singkat karena sesaat setelah itu, pak gubernur berbisik lalu Anda berdua beranjak meninggalkan si orang desa tadi yang masih bingung dengan konsep KPHP yang Anda canangkan untuk kesejahteraan mereka.


Tags: Penghijauan, Greenpeace, Hutan Riau, Deforestasi, Emisi Karbon, Hutan, Semenanjung Kampar, LoI RI-Norwegia, Teluk Meranti, Menhut

Jumat, Mei 14, 2010

Wanita

Minggu-minggu ini banyak hal yang menarik untuk dijadikan bahan tulisan.

Mulai soal gedung DPR yang sudah dianggap miring lalu berharap terkucurkan dana pembangunannya Rp 1,8 triliun, sementara dalam sebuah berita yang ditulis teman di Pekanbaru, tentang seorang kepala sekolah SD yang khawatir tiang bendera di halaman sekolah itu rubuh dan menimpa anak-anak didik sebab kemiringan tiang bendera cukup memprihatinkan, justru jadi ironi1.

Lalu Susno Duadji yang kembali highlight dalam sorotan kamera, karena membeberkan data-data korupsi di rumahnya sendiri, institusi Polri dan kemudian kini Sang Jenderal justru ditahan. Apakah akhir serial kisah si creator Cicak versus Buaya ini seperti yang dialami oleh Frank Vincent Serpico, anggota kepolisian kota New York (NYPD) yang membongkar kasus korupsi pada tahun 1970 dan 2 tahun berikutnya ia hidup dalam ancaman pembunuhan dan konspirasi institusinya atau Mayor polisi Aleksey Dymovksy yang ditahan Januari tahun ini lalu Maret kemarin baru dibebaskan dengan syarat tidak boleh keluar dari kota Novorossiisk, Rusia, tempat ia dulu bekerja.2

Juga kepergian Mulyani ke Bank Dunia yang terkesan penyelamatan muka si Tuan Presiden yang sudah lelah oleh pertikaian di legislatif. “Pemimpin Jangan Korbankan Anak Buah,” kata Sri Mulyani Indrawati di Kompas (7/5/2010). 3

Belum lagi ironi kehidupan anak-anak pintar yang harus menanggung putus pendidikan karena keluarganya miskin. Sebut saja Shelly Silvia Bintang, pelajar SMA 1 Denpasar, Bali yang mendapatkan nilai 57,9 pada Ujian Nasional kemarin4.

Tapi diriku justru sibuk menyimak curhatan seorang teman pria yang kini terbelit urusan hati. Apalagi kalau bukan seorang wanita. Maklum, cinta tidak bisa dibendung. Jika ditahan, cinta itu akan tumpah dan merusak yang ada di sekelilingnya. Justru soal ini yang menurutku paling menarik untuk tulisan kali ini.

Banyak teman yang lain bertanya soal ini. Namun dua bulan terakhir, si pria ini bisa menjawabnya sebab ia memang sedang jatuh cinta. Pada wanita desa, seorang guru SD dan SMA lalu kini menambah kesibukan dengan menerima kelas private dua kali seminggu.

Wanita desa itu menarik perhatiannya meski mereka belum berkenalan. Pandangan pertama itu terjadi di dalam sebuah angkutan desa ketika si pria pulang dari merantau ke sebuah kota di seberang pulau. Pertemuan kami begitu tertata sehingga bisa disebut ini jalan Tuhan.

Senyumnya manis, demikian curhatan itu mengalir. Si wanita adalah guru bahasa inggris dan ini cukup mendukung karir si pria dan dunia kerja zaman sekarang. Seperti halnya mencintai seorang wanita, ia pun mulai menggodanya. Tapi tentu saja, si pria yang menjalani hidupnya secara simple, hanya butuh komitmen, suatu hal yang hingga mereka putus tidak pernah terlontar dari bibir si wanita yang memikat.

Mungkin begitulah bedanya wanita desa dengan kota, kata seorang temanku. Wanita desa tidak suka berbicara komitmen, tapi lebih pintar menunjukkan perasaan dengan prilaku. Ya, pikir si pria. Kesimpulan ini memang pernah ia rasakan dari masakan dendeng balado yang khusus dipersiapkannya, meski wanita itu sadar, pada hari yang sama bisa saja mereka berpisah.

Di beberapa fragmen hidupnya, banyak wanita kota yang terang-terangan memperlihatkan rasa ketertarikan pada sang pria bahkan secara verbal diungkapkan. Tapi sayang, mata hati dia belum terbuka. Tidak ada chemistry, kata pria-pria single di acara Take Me Out Indonesia.

Persoalannya adalah pria itu terlampau tua di kota, sehingga tak paham membaca ekspresi. Namun karena komitmen cintanya yang cukup dalam, ia terus menggoda si wanita. Namun ternyata, setelah lelah menggadai perhatian, pulsa juga komitmen, si wanita pun mengambil keputusan sendiri, memilih kembali ke pacar lamanya. Vonis salah jatuh pada ketidakcocokan, kurang komunikasi dan kesibukan si pria yang melanglang buana dari satu kota ke kota lain menyebabkan si wanita merasa kurang diperhatikan.

Benarkah ia kembali ke pacar lamanya? Si pria pun tidak peduli. Kalau putus, ya putus saja, katanya. Namun belum genap 24 jam PHK (pemutusan hubungan kasih), si wanita kembali menghubunginya melalui pesan singkat. Lalu hari berikutnya meningkat menjadi saling menelpon, hingga satu kali, sebuah SMS diterima dan tertulis, “Jujur saja bang, sebenarnya adek sering rindu,”. Nah loh, kata si pria. Ada apalagi ini?

Namun karena merasa lebih dewasa, si pria ini pun meladeni dan ternyata terungkap, wanita desa ini masih cinta dan itu adalah ungkapan perasaannya yang pertama kali selama kasih terjalin dua tahun lalu. Telpon-telponan itu pun sempat mendayu-dayu dalam kasmaran. Tapi apalah guna, nasi sudah jadi bubur. Putusan menerima lamaran mantan pacar sudah diamini. Tidak usalah lagi cinta itu terajut kembali yang hanya akan menjadi sebuah hubungan terlarang meski si wanita berulang kali mengatakan gamang atas pilihannya menerima lamaran sang mantan. Hubungan yang menyedihkan bukan?

Dari hasil pelacur (pelan pelan curhat) teman itu, banyak hal yang bisa direfleksikan. Setidaknya bagi penulis. Adakah cinta itu tidak butuh sebuah komitmen verbal? Jawabannya butuh. Itu sebabnya kenapa ada ijab qobul. Sebab orang dewasa butuh komitmen. Komitmen adalah inti dari kejujuran dan integritas jiwa seseorang. Komitmen juga mencerminkan sebuah perjuangan, bagaimana orang itu berusaha memperbaiki dirinya yang rusak atau meningkatkan kwalitas sehingga tidak berimbas pada komitmen. Nah pertanyaaanya, adakah Anda wanita yang menghargai komitmen? Come to papa.... he....he...

Catatan untuk readers:

Minggu, April 18, 2010

Kelumit Kisah yang Bergantung pada Janji Allah

Ada seseorang yang menggunakan nama baiknya untuk meminjamkan uang ke seorang sahabat. Uang itu akan digunakan untuk membantu teman lainnya yang sedang butuh sekali. Dan teman itu berjanji akan mengganti uang pada hari yang disepakati, Jumat.


Namun Tuhan berkata lain, saat uang itu masuk ke rekening pada waktu ia harus mengembalikan, ternyata teman itu terlambat 10 menit untuk antre di teller sebuah Bank. Karena teller udah tutup. Sementara untuk ambil tunai atau transfer, ia tak punya Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Padahal uang itu sudah terdebit di rekeningnya, tapi tak bisa dicairkan. Teman itu pun pusing, lalu disarankan untuk pinjam uang orang lain, artinya tetaplah ia berusaha.


Seseorang yang sedang diujung tanduk nama baiknya itu, berusaha memahami situasi temannya. Seseorang itu kembali menggunakan nama baiknya untuk menunda pembayaran utang hingga Senin depan, sekitar 3 hari berikutnya. Dan disetujui, molornya pembayaran. "Jangan meleset lagi ya," demikian kira2 SMS dari si kreditor baik hati itu.

Minggu, seseorang itu kembali menghubungi temannya untuk mengingatkan agar siap2 antre pada Senin pagi hari di Bank. Dan ternyata, Tuhan berkata lain. Orangtuanya kena musibah dan perlu dioperasi. Uang sudah ditarik kembali oleh orang tuanya untuk biaya masuk rumah sakit. Kebetulan orang bank itu adalah tetangga orangtuanya dan dengan mudah uang yang udah ditransfer dapat diambil lagi pada hari yang sama. Pembayaran utang yang tertunda pun buyar.


Nah lo.... Bagaimana dengan nama baiknya? seseorang itu kembali berusaha mengerti situasi temannya yang kena musibah begitu banyak. Tapi meski ini cobaan, tetap saja seseorang itu berpikir tentang nama baiknya. Persoalannya tambah berat karena si kreditor juga sudah menunda pembayaran kewajiban kredit2nya yang jatuh tempo dari leasing2 elektronik akibat penundaan dari hari Jumat itu.


Akhirnya seseorang itu kembali menggunakan nama baiknya (masih punya nama baik juga toh?) untuk meminjam ke kreditor baik hati lainnya. Lalu cairlah uang pinjaman lagi untuk menutup pinjaman dari kreditor pertama. Kepada si kreditor kedua, seseorang yang mengaku punya nama baik itu pun berjanji, pembayaran akan digaransi dengan gaji sendiri yang akan jatuh tempo pada seminggu mendatang. 


Teman yang kena musibah yang wajahnya sudah letih, rambut acak-acakan, akibat putar2 Pekanbaru untuk cari pinjaman, akhirnya tersenyum sumringah. Sementara waktu ia lega. "Sejak ditelpon tadi, dah terasa lapang," katanya tersenyum kecil. Saat ditelpon, ia mengaku masaih mutar-mutar kota untuk mencari pinjaman yang ternyata juga tidak dapat.


*****
Apakah interkoneksi kebaikan itu akan berakhir happy ending, dan sesuai rencana manusia? Hanya Tuhan yang tau akhir dari cerita itu. Tunggu saja 10 hari mendatang.




18 April 2010

Minggu, Maret 21, 2010

Itu Cerita Mereka

Entah kenapa, aku selalu larut dengan kisah seorang anak yang kemudian bisa membuat orangtuanya begitu bangga. Seperti cerita kakak-beradik yang ikut acara pencarian bakat, America Got’s Talent 2009. Si sulung, Michael berbadan besar usia 16 tahun, adiknya Avery dan si bungsu Nadia berusia sekitar 9 tahun.

Cerita itu bermula ketika ibu mereka, Felicia ditabrak pengendara truk yang mabuk pada tahun 2007. Kondisnya parah lalu dilarikan ke rumah sakit. Meski masih hidup, tapi Felicia koma selama 8 bulan dan cacat seumur hidup.

Tidak ingin larut dengan kenyataan itu, Cole meminta anak-anaknya bernyanyi di samping ibu mereka yang entah mendengar atau tidak karena koma. Meski demikian, Michael, Avery dan Nadia tetap bernyanyi. Setiap hari. Mereka bernyanyi dengan perasaan yang mendalam. Selain itu, kakak-adik ini juga bernyanyi untuk perawat dan pasien-pasien di rumah sakit.

“Kami bernyanyi di rumah sakit setiap hari. Hanya itu yang bisa kami lakukan,” ucap Michael saat Piers Morgan, satu di antara tiga juri America Got’s Talent 2009.

Dan di audisi besar pertama, kelompok penyanyi bernama Voices of Glory ini tampil begitu sempurna di hadapan ribuan orang. Suara yang begitu bulat dan berkarakter. Seluruh penonton tampak beberapa menit memberikan standing applause.

Bahkan jauh sebelum mereka bernyanyi, ketiganya memiliki begitu semangat yang tulus dan kuat. Apalagi ketika Piers Morgan bertanya inspirasi apa yang menyebabkan mereka tampil di America Got’s Talent. Michael dengan sahaja menjawab bahwa kecelakaan ibunyalah yang mengispirasi mereka.

Sharon Osbourne, juri lainnya pun terharu. Begitu pula ribuan penonton yang memadati hall. Ketika ditanya, di mana ibu mereka saat itu, Michael mengatakan, ibunya ada di belakang panggung. Sontak penonton meminta ibunya di bawa ke panggung. Hall itu pun bergemuruh. Air mata Sharon pun jatuh beberapa kali.

Voices of Glory akhirnya tampil hingga semifinal. Namun tawaran untuk konser datang dari berbagai pelosok negeri paman sam itu. Bahkan di penobatan Walikota Newburgh, mereka diundang spesial.

Di Indonesia, juga ada kisah inspiratif. Siang tadi, acara pencarian bakat, Indonesian Idol yang aku dengar, soalnya lagi di kamar mandi, dan tidak terdengar jelas. Seorang pengamen, laki-laki usia duapuluhan tahun dari Surabaya berhasil membawa tiket emas untuk audisi di Jakarta.

Apa yang menginspirasi? Dia hanylah pengamen namun juga mahasiswa. Ia berasal dari keluarga tidak mampu karena itu ia mengisi waktu luang dengan mencari tambahan uang, yakni mengamen. Uang hasil kerjaan di jalanan itulah yang membiayai kuliah dan juga menanggung semua biaya hidup adik perempuannya yang juga sedang kuliah.

Ada juga cerita dari peserta Indonesian Idol yang dapat tiket emas untuk audisi di Jakarta, seorang remaja putri dari Ambon. Ia memiliki saudara yang semuanya perempuan. Meski tidak dijelaskannya secara gamblang, ayahnya pergi meninggalkan mereka dan ibunya. Sudah lima bulan mereka ditinggal. Bukannya marah pada sang ayah yang menelantarkan mereka, melalui rekaman di sesi audisi Ambon, dengan terisak namun berusaha tegar ia mengatakan, bahwa tiket emas itu dipersembahkan untuk ayahnya sendiri.

Sesungguhnya mereka adalah anak-anak jaman sekarang yang masih punya sesuatu yang membanggakan orangtua mereka. Meski dunia kecil mereka tak sesempurna anak-anak yang orangtuanya berkelebihan harta.

Lalu pertanyaan alot itu kembali muncul di kepalaku. Sebuah pertanyaan yang sulit aku simpulkan jawabannya sejak beberapa tahun terakhir. Dari diri ku sekarang, apa yang telah membuat engkau bangga? Sebuah pertanyaan yang aku takut untuk menjawabnya lisan apalagi berpacu dengan pagi dan malam.

Di antara banyak tanggungan dan kewajiban, meski itu mutlak tersebab dari kesalahan orang lain, bisakah aku berpusat hanya pada kebanggaan seorang anak, ayah-bunda ku? Bukankah tangan ini hanya dua. Sementara berpasang-pasang tangan keriput dan kencang, mereka bergayut lemah di pundak kurus ini. Telpon genggam yang selalu berdering seolah aku merasa terpojok. Terpikir untuk lari, tapi maaf ayah-bunda, aku tak bisa mengabaikannya. Mungkin itulah, kenapa Tuhan masih memberiku rejeki.

Namun untuk kalian saja belum cukup bisa membuatmu bangga dan itu pun butuh waktu. Sementara hidup selalu ada tantangan. Kadang kita jatuh, kadang bangkit. Bukankah semuanya pasti akan berubah?. Jangankan untuk bertanya tentang kebahagiaan hidupku sendiri. Atau mungkinkah senyuman yang merekah di wajah mu itu adalah kebahagiaanku yang sesungguhnya dan engkau bangga pada ku?

Selasa, Maret 16, 2010

Tanah Merah (Lagi)

Awal 2004, kesedihan itu berakhir.
Mendapati tempat di sebuah ruang, berdua.
Terkaget, sebuah percobaan membunuh waktu.
Tak pelak, gelar gila melekat, tapi itu kebahagiaan

Awal 2005, kertas karbon berganti cepat.
Terlupakan tentang tenggat waktu.
Gedung itu mulai bergairah.
Darah muda bergelora cepat.

Awal 2006, tak sempat berjenuh.
Semangat itu makin membara.
Meresap tajam mata keahlian.
Lalu terperangkap dalam lompatan.

Awal 2007, dunia baru menghampiri,
Ikhtiar berujung manis.
Uji coba memang pantas.
Mengenal banyak dunia jalanan.

Awal 2008, rasa itu memuncak dan rindu tanah merah.
Puncaknya berakar pada kota kecil tentram dan eksotik.
Pengalaman itu begitu melompat-lompat.
Hingga tak tau lagi, dimana mendarat.

Awal 2009, rasa itu kembali memuncak.
Puncaknya berakar pada desa kecil yang dilintasi sungai.
Pengalaman itu berdampak hebat.
Terlihat namun tak tampak.

Awal tahun 2010, ingin ke tanah merah.
Sudah kah di tanah merah?

Jumat, Maret 05, 2010

TIRAN

Ini adalah note ku di fesbuk pada 1 November 2009 silam. Saat itu adegan panggung sandiwara di Indonesia adalah cicak-buaya. Ternyata setelah aku baca, note ini masih sangat relevan. Toh tokoh tirannya masih sama, SiBuaYa...

-------------
Sudah lama aku melihat sosok Tiran
Sosok yang dibungkus oleh topeng
Topeng yang membuatnya kembali menang
Menang karena memanfaatkan Tiran cilik
Tiran cilik, ya intelektual yang sukanya menipu...

Jauh sebelum pesta di tahun 2004 itu dimulai,
Topeng itu sudah dipasang, aku melihatnya dengan seksama,
Tapi aneh, meski topeng usang itu sudah bulukan dan bercendawan,
Teman-temanku masih juga mengelus-elus cendawan
Cendawaan yang tumbuh di bagian hidung topeng di periode berikutnya,
Padahal sudah kusampaikan, awas cendawan itu beracun
Racun yang akan melukai mu bahkan membunuh keluarga mu,

Tiran ini kembali menunjukkan topengnya,
Topeng yang ditunjukkan oleh tiran-tiran cilik,
Dan dalam drama terakhir, ia memperbaharui topeng dan kwalitas ke-tiran-annya,
Sama halnya dengan kapitalisme yang memperbaharui diri menjadi neo-lib.

Ada bendera kuning dan hitam di dalam gerombolan Tiran ini,
Tapi sayang, ijtihad yang dilakukannya untuk kursi, bukan untuk perubahan.
Awalnya kuning hitam ini merasa akan mampu mengubah
Ternyata, kekuatan baru ini justru terperangkap,

Tapi Tiran tidak tau, ada riak kecil di bawah panggungnya.
Setiap babak drama yang dimainkan, setiap itu pula paku-paku di bawah panggung longgar

Tapi penonton yang sadar harus terus bersorak-sorai,
Penonton harus terus bertepuk tangan dan berseru,
Agar drama semakin panas dan bergelora,
Agar bangunan panggung roboh..... dan Tiran terkapar

Bicara Kita Bisa, Bertindak Siapa Bisa?

Nicholas namanya. Seorang gardener atau tukang kebun di Belgia. Ia datang seorang diri ke Indonesia dengan menyandang ransel besar berisi sleeping bag, kelambu, pakaian ganti, dan buku bacaan. Sebelum semua itu dikemas, ia batalkan beberapa order potong rumput dan tata taman. Ia tinggalkan pekerjaan dan tolak keuntungan.

Malam itu, Nicholas hadir di camp pelindung iklim yang dibangun Greenpeace bersama masyarakat di Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau. Meski ransel di pundaknya lebih tinggi dari kepalanya, ia tetap tersenyum dan bersemangat. “Welcome to Indonesia,” kata seorang teman Indonesia sembari menjabat tangannya dengan hangat.

Nicholas bukan dapat pekerjaan baru atau baru memenangkan proyek yang akan mendatangkan uang lebih besar dari penghasilannya sebagai tukang kebun. Di Desa Teluk Meranti itu, ia justru mengangkat kayu jambu-jambuan (Myrtaceae) seberat lebih dari seratus kilogram dengan cara menyeretnya sejauh dua kilometer ke titik pengedaman kanal. Selain kayu sepanjang empat meter itu, ia juga rela mengangkut karung pasir seberat tujuh puluh kilogram sejauh tiga ratus meter. Itu dilakukannya berulang kali.
Nicholas bukan satu-satunya relawan asing Greenpeace yang ikhlas meluangkan waktu hanya sekadar mengangkat kayu dan mengangkut karung pasir. Mereka ada sekitar 15 orang yang berasal dari Belgia, Finlandia, Spanyol, Brazil, Thailand, Philipina, Australia, India, serta Selandia Baru. Namun relawan Greenpeace dari Indonesia lebih banyak lagi, sekitar 40-an orang. Mereka datang dari pulau Jawa, Kalimantan, termasuk Riau dan Medan.

Di Camp itu juga ada Bujang BK berusia 23 tahun. Di kampungnya, di Desa Kuala Cinaku, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, Bujang hanyalah tukang bangunan. Setamat kelas 5 SD, ia tak lagi melanjutkan sekolah karena penghasilan orang tuanya tak cukup. Kini, sehari-hari ia menjadi tukang di desanya. Ia pun hanya ahli memasang batu-bata, kuda-kuda, dan plester dinding.

Kehadirannya di camp Greenpeace itu diawali dari perkenalannya dengan aktivis lingkungan di desanya tahun 2007 lalu. Meski hanya tukang bangunan dan tidak tamat SD, Bujang sadar, hutan yang sudah rusak membuatnya berpikir ada pekerjaan yang lebih mulia. Walau pekerjaan itu tak menghasilkan uang atau membuatnya lebih kaya. “Aku jadi pecinta alam dan mau bergabung aksi di sini. Walau tanpa gaji alias relawan, aku rela demi masyarakat Riau dan dunia,” kata Bujang.

Apa yang dilakukan Nicholas dan Bujang adalah sebuah potret nyata, ada komitmen dari penghuni planet ini. Komitmen untuk menjaga agar hutan dan lingkungan tetap menghasilkan udara bersih. Udara bersih untuk anak dan cucu mereka. Tak peduli, mereka berasal dari negara asing, atau hanya tukang bangunan.
Malu rasanya menatap sorot mata mereka. Sementara pemerintah Indonesia tak juga sadar, kecuali sadar untuk berkata-kata.


Bertolak Belakang
Di Pittersburg, Rusia—dalam pertemuan G-20—Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara yakin menyatakan akan mengurangi produksi emisi karbon hingga 26 persen pada tahun 2020. Bahkan jika ada dukungan dari masyarakat internasional, pengurangan emisi karbon bisa mencapai 41 persen.

Dalam pemaparannya, Indonesia akan mencapai itu melalui lima langkah: penghentian deforestasi, pengendalian kebakaran hutan, pengawasan pembakaran lahan gambut, pengolahan daur ulang sampah, dan memaksimalkan penggunaan energi alternatif.

Memang tak heran, Presiden Indonesia yang menjabat kedua kalinya ini lebih senang berbicara daripada bertindak cepat. Sejumlah kalangan pun tak meyakini SBY akan mengurangi emisi karbon demikian besar di tahun 2020. Bahkan ketidakyakinan itu pun disampaikan menteri lingkungan Inggris saat berkunjung ke Riau pertengahan November lalu.

Teguh Surya, perwakilan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang hadir di pertemuan iklim PBB di Kopenhagen minggu kedua Oktober ini bahkan mengatakan, perwakilan Indonesia tak punya misi yang jelas. “Delegasi Indonesia tak paham dengan persoalan yang kita dihadapi,” katanya kepada Tempo, Jumat (11/12).
Kekaburan dari komitmen SBY terhadap pengurangan emisi karbon sangat jelas. Hal ini dibuktikan dengan perusahaan-perusahaan yang terus melakukan penghancuran hutan alam dan mengambil kayu alam untuk produksi kertas. Penghancuran hutan paling banyak berlangsung di Riau, Kalimantan, dan Papua.
“Ternyata di akhir tahun 2009 ini, peredaran kayu alam Riau kembali merajalela. Departemen Kehutanan secara diam-diam telah mengeluarkan 30 rencana kerja tahunan (RKT) kepada perusahaan kayu di Riau untuk menebang sekitar 23 juta meter kubik kayu,” demikian laporan Kompas, 2 Desember 2009.

Laporan itu juga secara detail dan gamblang menyebutkan kesibukan truk-truk kayu balak di sepanjang jalanan Riau. “Tak tanggung-tanggung, dari 30 RKT itu, Dephut telah memberi izin membabat 12 juta meter kubik kayu dari hutan alam. Bila berkunjung ke Riau saat ini, setiap saat Anda pasti akan berpapasan dengan truk-truk raksasa pengangkut kayu alam. “Kondisi ini persis seperti pada tahun 2003-2005, tatkala pembalakan liar tengah marak-maraknya.”

Di luar kebijakan pro-pengrusakan itu, apa yang terjadi di tempat penebangan? Berton-ton karbon dioksida akan lepas ke atmosfir dan menyebabkan efek rumah kaca. Ini kembali memperkuat pernyataan mantan Kepala BMG Riau, Blucher Doloksaribu, Juni lalu, bahwa suhu udara minimum di Riau meningkat dua derajat celsius dibanding kota-kota industri lain di Indonesia.

Sementara itu, Dewan Nasional Perubahan Iklim juga melaporkan bahwa pengeringan lahan gambut serta deforestasi merupakan penyebab utama tingginya tingkat emisi karbon Indonesia. Emisi karbon ini telah berkontribusi besar terhadap perubahan iklim global. Besaran emisinya mencapai 83 persen dari total emisi karbon Indonesia.

Lembaga ini juga menegaskan perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan aktivitas penebangan di Indonesia juga besar menyumbang emisi. Karena itu, institusi ini menawarkan penerapan kebijakan nol deforestasi (nol penghancuran hutan).

Masalah sudah diidentifikasi, solusi juga sudah ditawarkan, bahkan oleh lembaga bentukan presiden. Sejak dilantik, SBY berkomitmen menjadikan isu lingkungan dalam program kerja 100 hari pertamanya. Memasuki pekan pertama Desember, waktu untuk merealisasikan janjinya sudah 50 hari berlalu.

Sementara di belahan dunia lain, sejumlah perusahaan besar yang biasa membeli produk-produk minyak kelapa sawit dan kertas produksi Indonesia, sudah banyak membatalkan kontrak pembelian. Sebab mereka yakin, produk kertas atau kelapa sawit itu dihasilkan dengan menciptakan konflik masyarakat, terbunuhnya beberapa penduduk, menghancurkan hutan, dan membinasakan orang utan dan binatang yang dilindungi lainnya.

SBY, yakinkan kami bahwa Anda bisa berbuat dengan menghentikan aktivitas penghancuran sisa hutan alam oleh perusahaan. Segera.

*Diterbitkan Bahana Mahasiswa Universitas Riau, edisi Desember 2009