Jumat, Desember 31, 2010

Pelangi di Kapal Para Ksatria

Setelah perjalanan panjang dari Pekanbaru, Jakarta lalu disambung Bangkok, Thailand, seyogyanya itu sangat melelahkan apalagi dilakukan di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Tetapi entah kenapa, yang terasa di dada ini justru semangat yang menggebu-gebu.

Sore itu setiba Bandara Internasional Suvarnabhumi, sebuah taxi mengantar kami, rombongan dari kantor perwakilan Indonesia, Greenpeace Asia Tenggara melaju cepat ke Bangkok Port, tempat di mana sebuah kapal bersejarah sepanjang perjuangan membela lingkungan bersandar.

Rainbow Warrior, kapal berbendera Belanda milik Greenpeace itu melego jangkar dengan tenang. Kebesaran nama kapal inilah yang membuat saya beserta tiga orang teman Indonesia lainnya begitu bersemangat. Maklum, selama ini kami hanya mendengar harumnya sejarah perjuangan melawan perusak lingkungan tanpa pernah menaikinya. Dan hari itu, bukan hanya menaikinya, tetapi kami hidup bersama 15 awak kapal dari berbagai negara selama 7 hari lamanya.

Rainbow Warrior, dimana saya hidup bersamanya seminggu penuh itu pertama kali diluncurkan pada 10 Juli 1989. Empat tahun sebelumnya, kapal yang asli tenggelam pada 1985 setelah dibom agen rahasia Perancis karena para aktivis Greenpeace bersama Rainbow Warrior memprotes percobaan nuklir Perancis di Pasifik. Seorang fotografer di dalam Rainbow Warrior meninggal dalam serangan itu.

Tenggelamnya Rainbow Warrior menyebabkan kemarahan warga dunia dan mereka bekerjasama membantu membangun kapal baru yang membuktikan “Anda tidak bisa menenggelamkan sebuah pelangi” – You Can’t Sink A Rainbow”. Dan perlawanan percobaan nuklir di Pasifik pun berhasil. Bertahun-tahun berikutnya, kapal dan sejarahnya ini, dedikasi para awak dan jutaan supporter Greenpeace terus berjuang melawan perusak lingkungan, perburuan paus, perang, perubahan iklim di seluruh perairan dunia.

Malam pertama di kapal, 15 peserta pelatihan kampanye dari empat negara, Indonesia, Filipina, Thailand dan China yang beruntung itu saling berkenalan satu sama lain, juga dengan para awak kapal. Dan pelangi itu ternyata bukan hanya tertulis di lambung kapal, tetapi juga para awak yang berasal dari berbagai negara di antaranya Jerman, Ghana, Tunisia, Belanda, Spanyol, Thailand, Inggris, Filipina, Swedia dan Rusia.

Peduli lingkungan bukan hanya tampak dari kampanye-kampanye Greenpeace di media. Di kapal, siklus hidup juga didasarkan pada keramahan lingkungan. Seperti membedakan sampah organik dan non-organik. Sampah non-organik pun dipisahkan pembuangannya berdasarkan sampah-sampah plastik, kaleng dan kertas yang bisa didaur ulang. Begitu juga penggunaan air harus dihemat dan itu berlaku dari sang Kapten yang memiliki otoritas kepemimpinan sampai relawan. Begitu juga tugas piket bersih-bersih kamar mandi, ruang makan hingga dapur.

Hari pertama latihan, kami berlayar hingga beberapa mil menjauh dari daratan Bangkok dan melego jangkar untuk 6 hari kedepannya. Hampir setiap hari, saya menikmati suasana sunrise di dek depan. Dan di permukaan laut yang jernih, ratusan bahkan ribuan jelly fish atau ubur-ubur berimigrasi dengan teratur dan bergerak lembut. Bahkan di hari ketiga, Zulfahmi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara yang juga ikut dalam pelatihan itu sempat melihat beberapa ikan lumba-lumba merah jambu.

“Betapa indahnya harmoni kehidupan laut yang damai ini,” pikirku dalam hati. Namun tiba-tiba saya menggelengkan kepala dan mengumpat dalam hati, “Ikan-ikan rentan itu kini menghadapi bencana serius,”. Bukan hanya karena pemanasan global yang merusak ekosistem bawah laut, jauh dari itu, penggunaan energi kotor batubara di kawasan industri terbesar di Thailand, Map Ta Phut estate di Provinsi Rayong.

Penggunaan batubara untuk pembangunan energi baik di Map Ta Phut maupun di berbagai negara termasuk Indonesia di Cirebon telah terbukti efektif mendorong perusakan ekosistem laut dan berdampak domino pada mata pencaharian masyarakat nelayan dan mengubahnya menjadi kemiskinan. Belum lagi dampak kesehatan dan pemanasan global dari emisi karbon yang dihasilkan. Padahal ada sumber energi yang sedang berkembang pesat di Eropa, yakni panas energi matahari, panas bumi dan angin. Semuanya terbukti rendah emisi karbon dan lebih ramah lingkungan.

Kegundahan dan rasa geramku terhenti saat seorang kawan dari China memberitahu bahwa peserta harus segera berkumpul di ruang utama untuk pelatihan. Sambil menatap ubur-ubur yang bergerak lembut, saya pun berlalu ke dalam.

Selama di kapal, saya suka mendengarkan pengalaman para kru kapal mengarungi lautan untuk kampanye hijau dan damai. Satu di antara cerita itu adalah Mehdi, dari Tunisia yang juga seorang muslim. Meski pekerjaannya di kapal sebagai mekanik kapal karet yang berpanas-panas dengan matahari tengah lautan, ia tetap berpuasa. Mehdi sudah lebih dari 18 tahun mengarungi lautan bersama kapal-kapal Greenpeace, baik Rainbow Warrior, Esperanza maupun Arctic Sunrise. Dan kali ini, adalah pelayaran terakhirnya bersama Rainbow Warrior. Sebab tahun depan, rencananya Kapal Rainbow Warrior yang ketiga akan diluncurkan.

Di hari ketiga, kami berlatih bagaimana menggunakan kapal untuk berkampanye dan menyebarkan berita hingga ke seluruh dunia. Termasuk bagaimana mengemudikan sebuah kapal karet bermesin. Dan ternyata bagi saya orang daerah dari kota yang baru berkembang di Pulau Sumatera, ternyata rumit. Dan itu perlu komunikasi yang super intensif antarsatu bagian dengan bagian lainnya di kapal. Juga harus bisa memahami satu per satu teknologi canggih yang ada di Kapal Rainbow.

“Wah bagaimana dengan kapal yang paling canggih teknologinya seperti Arctic Sunrise yang jika berlayar di lautan kutub tidak akan memecah es yang dilewatinya. Pasti saya akan terlihat makin katrok,” pikirku sambil tertawa.

Pelajaran-pelajaran selama latihan membuat kepalaku makin bergairah. Banyak ide baru dan gambaran-gambaran sebuah kampanye internasional yang tentu saja memperkaya pengetahuanku. Gairah itu pun meledak-ledak, seperti ingin segera saya aplikasikan dalam kehidupan. Setidaknya bagaimana harus konsisten hidup dengan standar-standar ramah lingkungan.

Meski demikian bergairah di kepala, tidak bagi lambungku yang tidak terbiasa berlayar berhari-hari. Hari keempat, tiba-tiba berkontraksi. Saya mabuk laut dan itu cukup menderita. Tapi tenang, di kapal juga ada kru khusus untuk urusan kesehatan. Namanya Lesliy, asal Australia dengan penuh perhatian memberiku pengarahan dan obat anti-mabuk laut. Meski ada ruang khusus untuk yang sakit, saya berusaha untuk tidak masuk ke dalamnya. Jika saya masuk, tentu saja banyak pelajaran yang saya lewatkan. Dan secara pribadi, itu merugikan. Mabuk laut juga dialami peserta perempuan dari Filipina dan dia harus mengalaminya selama tiga hari.

Hari terakhir pelatihan adalah tanggal 9 September, atau satu hari sebelum lebaran Idhul Fitri. Namun saya dan 3 perwakilan kantor Indonesia lainnya harus pamit lebih awal pada tanggal 8 September. Sebab kami tetap ingin merayakan lebaran bersama keluarga di Indonesia, ada yang Jakarta ada juga yang melanjutkan penerbangan dari Jakarta ke Pekanbaru. Dan itu berarti tetap saja tanggal 9 saya baru akan ada di Pekanbaru.

Tapi tiba-tiba saya kembali terpikir, bagaimana dengan Mehdi yang harus merayakan Idhul Fitri di Kapal Rainbow. Atau para kru kapal yang harus merayakan Natal atau hari keagamaannya di kapal, di tengah samudera? Saya pun teringat pada sebuah ramalan Indian kuno yang mengatakan, “Akan tiba saatnya bumi menjadi sakit akibat keserakahan umat manusia, dan sekelompok ksatria akan turun dari pelangi untuk menyelamatkan bumi.”

*Tulisan ini dimuat di Majalah DiveMag Indonesia edisi Desember 2010. Silahkan follow twitter majalahnya di @divemag_indo