Jumat, Mei 14, 2010

Wanita

Minggu-minggu ini banyak hal yang menarik untuk dijadikan bahan tulisan.

Mulai soal gedung DPR yang sudah dianggap miring lalu berharap terkucurkan dana pembangunannya Rp 1,8 triliun, sementara dalam sebuah berita yang ditulis teman di Pekanbaru, tentang seorang kepala sekolah SD yang khawatir tiang bendera di halaman sekolah itu rubuh dan menimpa anak-anak didik sebab kemiringan tiang bendera cukup memprihatinkan, justru jadi ironi1.

Lalu Susno Duadji yang kembali highlight dalam sorotan kamera, karena membeberkan data-data korupsi di rumahnya sendiri, institusi Polri dan kemudian kini Sang Jenderal justru ditahan. Apakah akhir serial kisah si creator Cicak versus Buaya ini seperti yang dialami oleh Frank Vincent Serpico, anggota kepolisian kota New York (NYPD) yang membongkar kasus korupsi pada tahun 1970 dan 2 tahun berikutnya ia hidup dalam ancaman pembunuhan dan konspirasi institusinya atau Mayor polisi Aleksey Dymovksy yang ditahan Januari tahun ini lalu Maret kemarin baru dibebaskan dengan syarat tidak boleh keluar dari kota Novorossiisk, Rusia, tempat ia dulu bekerja.2

Juga kepergian Mulyani ke Bank Dunia yang terkesan penyelamatan muka si Tuan Presiden yang sudah lelah oleh pertikaian di legislatif. “Pemimpin Jangan Korbankan Anak Buah,” kata Sri Mulyani Indrawati di Kompas (7/5/2010). 3

Belum lagi ironi kehidupan anak-anak pintar yang harus menanggung putus pendidikan karena keluarganya miskin. Sebut saja Shelly Silvia Bintang, pelajar SMA 1 Denpasar, Bali yang mendapatkan nilai 57,9 pada Ujian Nasional kemarin4.

Tapi diriku justru sibuk menyimak curhatan seorang teman pria yang kini terbelit urusan hati. Apalagi kalau bukan seorang wanita. Maklum, cinta tidak bisa dibendung. Jika ditahan, cinta itu akan tumpah dan merusak yang ada di sekelilingnya. Justru soal ini yang menurutku paling menarik untuk tulisan kali ini.

Banyak teman yang lain bertanya soal ini. Namun dua bulan terakhir, si pria ini bisa menjawabnya sebab ia memang sedang jatuh cinta. Pada wanita desa, seorang guru SD dan SMA lalu kini menambah kesibukan dengan menerima kelas private dua kali seminggu.

Wanita desa itu menarik perhatiannya meski mereka belum berkenalan. Pandangan pertama itu terjadi di dalam sebuah angkutan desa ketika si pria pulang dari merantau ke sebuah kota di seberang pulau. Pertemuan kami begitu tertata sehingga bisa disebut ini jalan Tuhan.

Senyumnya manis, demikian curhatan itu mengalir. Si wanita adalah guru bahasa inggris dan ini cukup mendukung karir si pria dan dunia kerja zaman sekarang. Seperti halnya mencintai seorang wanita, ia pun mulai menggodanya. Tapi tentu saja, si pria yang menjalani hidupnya secara simple, hanya butuh komitmen, suatu hal yang hingga mereka putus tidak pernah terlontar dari bibir si wanita yang memikat.

Mungkin begitulah bedanya wanita desa dengan kota, kata seorang temanku. Wanita desa tidak suka berbicara komitmen, tapi lebih pintar menunjukkan perasaan dengan prilaku. Ya, pikir si pria. Kesimpulan ini memang pernah ia rasakan dari masakan dendeng balado yang khusus dipersiapkannya, meski wanita itu sadar, pada hari yang sama bisa saja mereka berpisah.

Di beberapa fragmen hidupnya, banyak wanita kota yang terang-terangan memperlihatkan rasa ketertarikan pada sang pria bahkan secara verbal diungkapkan. Tapi sayang, mata hati dia belum terbuka. Tidak ada chemistry, kata pria-pria single di acara Take Me Out Indonesia.

Persoalannya adalah pria itu terlampau tua di kota, sehingga tak paham membaca ekspresi. Namun karena komitmen cintanya yang cukup dalam, ia terus menggoda si wanita. Namun ternyata, setelah lelah menggadai perhatian, pulsa juga komitmen, si wanita pun mengambil keputusan sendiri, memilih kembali ke pacar lamanya. Vonis salah jatuh pada ketidakcocokan, kurang komunikasi dan kesibukan si pria yang melanglang buana dari satu kota ke kota lain menyebabkan si wanita merasa kurang diperhatikan.

Benarkah ia kembali ke pacar lamanya? Si pria pun tidak peduli. Kalau putus, ya putus saja, katanya. Namun belum genap 24 jam PHK (pemutusan hubungan kasih), si wanita kembali menghubunginya melalui pesan singkat. Lalu hari berikutnya meningkat menjadi saling menelpon, hingga satu kali, sebuah SMS diterima dan tertulis, “Jujur saja bang, sebenarnya adek sering rindu,”. Nah loh, kata si pria. Ada apalagi ini?

Namun karena merasa lebih dewasa, si pria ini pun meladeni dan ternyata terungkap, wanita desa ini masih cinta dan itu adalah ungkapan perasaannya yang pertama kali selama kasih terjalin dua tahun lalu. Telpon-telponan itu pun sempat mendayu-dayu dalam kasmaran. Tapi apalah guna, nasi sudah jadi bubur. Putusan menerima lamaran mantan pacar sudah diamini. Tidak usalah lagi cinta itu terajut kembali yang hanya akan menjadi sebuah hubungan terlarang meski si wanita berulang kali mengatakan gamang atas pilihannya menerima lamaran sang mantan. Hubungan yang menyedihkan bukan?

Dari hasil pelacur (pelan pelan curhat) teman itu, banyak hal yang bisa direfleksikan. Setidaknya bagi penulis. Adakah cinta itu tidak butuh sebuah komitmen verbal? Jawabannya butuh. Itu sebabnya kenapa ada ijab qobul. Sebab orang dewasa butuh komitmen. Komitmen adalah inti dari kejujuran dan integritas jiwa seseorang. Komitmen juga mencerminkan sebuah perjuangan, bagaimana orang itu berusaha memperbaiki dirinya yang rusak atau meningkatkan kwalitas sehingga tidak berimbas pada komitmen. Nah pertanyaaanya, adakah Anda wanita yang menghargai komitmen? Come to papa.... he....he...

Catatan untuk readers: