Entah kenapa, aku selalu larut dengan kisah seorang anak yang kemudian bisa membuat orangtuanya begitu bangga. Seperti cerita kakak-beradik yang ikut acara pencarian bakat, America Got’s Talent 2009. Si sulung, Michael berbadan besar usia 16 tahun, adiknya Avery dan si bungsu Nadia berusia sekitar 9 tahun.
Cerita itu bermula ketika ibu mereka, Felicia ditabrak pengendara truk yang mabuk pada tahun 2007. Kondisnya parah lalu dilarikan ke rumah sakit. Meski masih hidup, tapi Felicia koma selama 8 bulan dan cacat seumur hidup.
Tidak ingin larut dengan kenyataan itu, Cole meminta anak-anaknya bernyanyi di samping ibu mereka yang entah mendengar atau tidak karena koma. Meski demikian, Michael, Avery dan Nadia tetap bernyanyi. Setiap hari. Mereka bernyanyi dengan perasaan yang mendalam. Selain itu, kakak-adik ini juga bernyanyi untuk perawat dan pasien-pasien di rumah sakit.
“Kami bernyanyi di rumah sakit setiap hari. Hanya itu yang bisa kami lakukan,” ucap Michael saat Piers Morgan, satu di antara tiga juri America Got’s Talent 2009.
Dan di audisi besar pertama, kelompok penyanyi bernama Voices of Glory ini tampil begitu sempurna di hadapan ribuan orang. Suara yang begitu bulat dan berkarakter. Seluruh penonton tampak beberapa menit memberikan standing applause.
Bahkan jauh sebelum mereka bernyanyi, ketiganya memiliki begitu semangat yang tulus dan kuat. Apalagi ketika Piers Morgan bertanya inspirasi apa yang menyebabkan mereka tampil di America Got’s Talent. Michael dengan sahaja menjawab bahwa kecelakaan ibunyalah yang mengispirasi mereka.
Sharon Osbourne, juri lainnya pun terharu. Begitu pula ribuan penonton yang memadati hall. Ketika ditanya, di mana ibu mereka saat itu, Michael mengatakan, ibunya ada di belakang panggung. Sontak penonton meminta ibunya di bawa ke panggung. Hall itu pun bergemuruh. Air mata Sharon pun jatuh beberapa kali.
Voices of Glory akhirnya tampil hingga semifinal. Namun tawaran untuk konser datang dari berbagai pelosok negeri paman sam itu. Bahkan di penobatan Walikota Newburgh, mereka diundang spesial.
Di Indonesia, juga ada kisah inspiratif. Siang tadi, acara pencarian bakat, Indonesian Idol yang aku dengar, soalnya lagi di kamar mandi, dan tidak terdengar jelas. Seorang pengamen, laki-laki usia duapuluhan tahun dari Surabaya berhasil membawa tiket emas untuk audisi di Jakarta.
Apa yang menginspirasi? Dia hanylah pengamen namun juga mahasiswa. Ia berasal dari keluarga tidak mampu karena itu ia mengisi waktu luang dengan mencari tambahan uang, yakni mengamen. Uang hasil kerjaan di jalanan itulah yang membiayai kuliah dan juga menanggung semua biaya hidup adik perempuannya yang juga sedang kuliah.
Ada juga cerita dari peserta Indonesian Idol yang dapat tiket emas untuk audisi di Jakarta, seorang remaja putri dari Ambon. Ia memiliki saudara yang semuanya perempuan. Meski tidak dijelaskannya secara gamblang, ayahnya pergi meninggalkan mereka dan ibunya. Sudah lima bulan mereka ditinggal. Bukannya marah pada sang ayah yang menelantarkan mereka, melalui rekaman di sesi audisi Ambon, dengan terisak namun berusaha tegar ia mengatakan, bahwa tiket emas itu dipersembahkan untuk ayahnya sendiri.
Sesungguhnya mereka adalah anak-anak jaman sekarang yang masih punya sesuatu yang membanggakan orangtua mereka. Meski dunia kecil mereka tak sesempurna anak-anak yang orangtuanya berkelebihan harta.
Lalu pertanyaan alot itu kembali muncul di kepalaku. Sebuah pertanyaan yang sulit aku simpulkan jawabannya sejak beberapa tahun terakhir. Dari diri ku sekarang, apa yang telah membuat engkau bangga? Sebuah pertanyaan yang aku takut untuk menjawabnya lisan apalagi berpacu dengan pagi dan malam.
Di antara banyak tanggungan dan kewajiban, meski itu mutlak tersebab dari kesalahan orang lain, bisakah aku berpusat hanya pada kebanggaan seorang anak, ayah-bunda ku? Bukankah tangan ini hanya dua. Sementara berpasang-pasang tangan keriput dan kencang, mereka bergayut lemah di pundak kurus ini. Telpon genggam yang selalu berdering seolah aku merasa terpojok. Terpikir untuk lari, tapi maaf ayah-bunda, aku tak bisa mengabaikannya. Mungkin itulah, kenapa Tuhan masih memberiku rejeki.
Namun untuk kalian saja belum cukup bisa membuatmu bangga dan itu pun butuh waktu. Sementara hidup selalu ada tantangan. Kadang kita jatuh, kadang bangkit. Bukankah semuanya pasti akan berubah?. Jangankan untuk bertanya tentang kebahagiaan hidupku sendiri. Atau mungkinkah senyuman yang merekah di wajah mu itu adalah kebahagiaanku yang sesungguhnya dan engkau bangga pada ku?
Jangan pikirkan apa yang akan kamu buat, tapi bekerjalah, berjalanlah, jejak-jejak itu yang sesungguhnya engkau ingin buat.
Minggu, Maret 21, 2010
Selasa, Maret 16, 2010
Tanah Merah (Lagi)
Awal 2004, kesedihan itu berakhir.
Mendapati tempat di sebuah ruang, berdua.
Terkaget, sebuah percobaan membunuh waktu.
Tak pelak, gelar gila melekat, tapi itu kebahagiaan
Awal 2005, kertas karbon berganti cepat.
Terlupakan tentang tenggat waktu.
Gedung itu mulai bergairah.
Darah muda bergelora cepat.
Awal 2006, tak sempat berjenuh.
Semangat itu makin membara.
Meresap tajam mata keahlian.
Lalu terperangkap dalam lompatan.
Awal 2007, dunia baru menghampiri,
Ikhtiar berujung manis.
Uji coba memang pantas.
Mengenal banyak dunia jalanan.
Awal 2008, rasa itu memuncak dan rindu tanah merah.
Puncaknya berakar pada kota kecil tentram dan eksotik.
Pengalaman itu begitu melompat-lompat.
Hingga tak tau lagi, dimana mendarat.
Awal 2009, rasa itu kembali memuncak.
Puncaknya berakar pada desa kecil yang dilintasi sungai.
Pengalaman itu berdampak hebat.
Terlihat namun tak tampak.
Awal tahun 2010, ingin ke tanah merah.
Sudah kah di tanah merah?
Jumat, Maret 05, 2010
TIRAN
Ini adalah note ku di fesbuk pada 1 November 2009 silam. Saat itu adegan panggung sandiwara di Indonesia adalah cicak-buaya. Ternyata setelah aku baca, note ini masih sangat relevan. Toh tokoh tirannya masih sama, SiBuaYa...
-------------
Sudah lama aku melihat sosok TiranSosok yang dibungkus oleh topeng
Topeng yang membuatnya kembali menang
Menang karena memanfaatkan Tiran cilik
Tiran cilik, ya intelektual yang sukanya menipu...
Jauh sebelum pesta di tahun 2004 itu dimulai,
Topeng itu sudah dipasang, aku melihatnya dengan seksama,
Tapi aneh, meski topeng usang itu sudah bulukan dan bercendawan,
Teman-temanku masih juga mengelus-elus cendawan
Cendawaan yang tumbuh di bagian hidung topeng di periode berikutnya,
Padahal sudah kusampaikan, awas cendawan itu beracun
Racun yang akan melukai mu bahkan membunuh keluarga mu,
Tiran ini kembali menunjukkan topengnya,
Topeng yang ditunjukkan oleh tiran-tiran cilik,
Dan dalam drama terakhir, ia memperbaharui topeng dan kwalitas ke-tiran-annya,
Sama halnya dengan kapitalisme yang memperbaharui diri menjadi neo-lib.
Ada bendera kuning dan hitam di dalam gerombolan Tiran ini,
Tapi sayang, ijtihad yang dilakukannya untuk kursi, bukan untuk perubahan.
Awalnya kuning hitam ini merasa akan mampu mengubah
Ternyata, kekuatan baru ini justru terperangkap,
Tapi Tiran tidak tau, ada riak kecil di bawah panggungnya.
Setiap babak drama yang dimainkan, setiap itu pula paku-paku di bawah panggung longgar
Tapi penonton yang sadar harus terus bersorak-sorai,
Penonton harus terus bertepuk tangan dan berseru,
Agar drama semakin panas dan bergelora,
Agar bangunan panggung roboh..... dan Tiran terkapar
Bicara Kita Bisa, Bertindak Siapa Bisa?
Nicholas namanya. Seorang gardener atau tukang kebun di Belgia. Ia datang seorang diri ke Indonesia dengan menyandang ransel besar berisi sleeping bag, kelambu, pakaian ganti, dan buku bacaan. Sebelum semua itu dikemas, ia batalkan beberapa order potong rumput dan tata taman. Ia tinggalkan pekerjaan dan tolak keuntungan.
Malam itu, Nicholas hadir di camp pelindung iklim yang dibangun Greenpeace bersama masyarakat di Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau. Meski ransel di pundaknya lebih tinggi dari kepalanya, ia tetap tersenyum dan bersemangat. “Welcome to Indonesia,” kata seorang teman Indonesia sembari menjabat tangannya dengan hangat.
Nicholas bukan dapat pekerjaan baru atau baru memenangkan proyek yang akan mendatangkan uang lebih besar dari penghasilannya sebagai tukang kebun. Di Desa Teluk Meranti itu, ia justru mengangkat kayu jambu-jambuan (Myrtaceae) seberat lebih dari seratus kilogram dengan cara menyeretnya sejauh dua kilometer ke titik pengedaman kanal. Selain kayu sepanjang empat meter itu, ia juga rela mengangkut karung pasir seberat tujuh puluh kilogram sejauh tiga ratus meter. Itu dilakukannya berulang kali.
Nicholas bukan satu-satunya relawan asing Greenpeace yang ikhlas meluangkan waktu hanya sekadar mengangkat kayu dan mengangkut karung pasir. Mereka ada sekitar 15 orang yang berasal dari Belgia, Finlandia, Spanyol, Brazil, Thailand, Philipina, Australia, India, serta Selandia Baru. Namun relawan Greenpeace dari Indonesia lebih banyak lagi, sekitar 40-an orang. Mereka datang dari pulau Jawa, Kalimantan, termasuk Riau dan Medan.
Di Camp itu juga ada Bujang BK berusia 23 tahun. Di kampungnya, di Desa Kuala Cinaku, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, Bujang hanyalah tukang bangunan. Setamat kelas 5 SD, ia tak lagi melanjutkan sekolah karena penghasilan orang tuanya tak cukup. Kini, sehari-hari ia menjadi tukang di desanya. Ia pun hanya ahli memasang batu-bata, kuda-kuda, dan plester dinding.
Kehadirannya di camp Greenpeace itu diawali dari perkenalannya dengan aktivis lingkungan di desanya tahun 2007 lalu. Meski hanya tukang bangunan dan tidak tamat SD, Bujang sadar, hutan yang sudah rusak membuatnya berpikir ada pekerjaan yang lebih mulia. Walau pekerjaan itu tak menghasilkan uang atau membuatnya lebih kaya. “Aku jadi pecinta alam dan mau bergabung aksi di sini. Walau tanpa gaji alias relawan, aku rela demi masyarakat Riau dan dunia,” kata Bujang.
Apa yang dilakukan Nicholas dan Bujang adalah sebuah potret nyata, ada komitmen dari penghuni planet ini. Komitmen untuk menjaga agar hutan dan lingkungan tetap menghasilkan udara bersih. Udara bersih untuk anak dan cucu mereka. Tak peduli, mereka berasal dari negara asing, atau hanya tukang bangunan.
Malu rasanya menatap sorot mata mereka. Sementara pemerintah Indonesia tak juga sadar, kecuali sadar untuk berkata-kata.
Bertolak Belakang
Di Pittersburg, Rusia—dalam pertemuan G-20—Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara yakin menyatakan akan mengurangi produksi emisi karbon hingga 26 persen pada tahun 2020. Bahkan jika ada dukungan dari masyarakat internasional, pengurangan emisi karbon bisa mencapai 41 persen.
Dalam pemaparannya, Indonesia akan mencapai itu melalui lima langkah: penghentian deforestasi, pengendalian kebakaran hutan, pengawasan pembakaran lahan gambut, pengolahan daur ulang sampah, dan memaksimalkan penggunaan energi alternatif.
Memang tak heran, Presiden Indonesia yang menjabat kedua kalinya ini lebih senang berbicara daripada bertindak cepat. Sejumlah kalangan pun tak meyakini SBY akan mengurangi emisi karbon demikian besar di tahun 2020. Bahkan ketidakyakinan itu pun disampaikan menteri lingkungan Inggris saat berkunjung ke Riau pertengahan November lalu.
Teguh Surya, perwakilan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang hadir di pertemuan iklim PBB di Kopenhagen minggu kedua Oktober ini bahkan mengatakan, perwakilan Indonesia tak punya misi yang jelas. “Delegasi Indonesia tak paham dengan persoalan yang kita dihadapi,” katanya kepada Tempo, Jumat (11/12).
Kekaburan dari komitmen SBY terhadap pengurangan emisi karbon sangat jelas. Hal ini dibuktikan dengan perusahaan-perusahaan yang terus melakukan penghancuran hutan alam dan mengambil kayu alam untuk produksi kertas. Penghancuran hutan paling banyak berlangsung di Riau, Kalimantan, dan Papua.
“Ternyata di akhir tahun 2009 ini, peredaran kayu alam Riau kembali merajalela. Departemen Kehutanan secara diam-diam telah mengeluarkan 30 rencana kerja tahunan (RKT) kepada perusahaan kayu di Riau untuk menebang sekitar 23 juta meter kubik kayu,” demikian laporan Kompas, 2 Desember 2009.
Laporan itu juga secara detail dan gamblang menyebutkan kesibukan truk-truk kayu balak di sepanjang jalanan Riau. “Tak tanggung-tanggung, dari 30 RKT itu, Dephut telah memberi izin membabat 12 juta meter kubik kayu dari hutan alam. Bila berkunjung ke Riau saat ini, setiap saat Anda pasti akan berpapasan dengan truk-truk raksasa pengangkut kayu alam. “Kondisi ini persis seperti pada tahun 2003-2005, tatkala pembalakan liar tengah marak-maraknya.”
Di luar kebijakan pro-pengrusakan itu, apa yang terjadi di tempat penebangan? Berton-ton karbon dioksida akan lepas ke atmosfir dan menyebabkan efek rumah kaca. Ini kembali memperkuat pernyataan mantan Kepala BMG Riau, Blucher Doloksaribu, Juni lalu, bahwa suhu udara minimum di Riau meningkat dua derajat celsius dibanding kota-kota industri lain di Indonesia.
Sementara itu, Dewan Nasional Perubahan Iklim juga melaporkan bahwa pengeringan lahan gambut serta deforestasi merupakan penyebab utama tingginya tingkat emisi karbon Indonesia. Emisi karbon ini telah berkontribusi besar terhadap perubahan iklim global. Besaran emisinya mencapai 83 persen dari total emisi karbon Indonesia.
Lembaga ini juga menegaskan perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan aktivitas penebangan di Indonesia juga besar menyumbang emisi. Karena itu, institusi ini menawarkan penerapan kebijakan nol deforestasi (nol penghancuran hutan).
Masalah sudah diidentifikasi, solusi juga sudah ditawarkan, bahkan oleh lembaga bentukan presiden. Sejak dilantik, SBY berkomitmen menjadikan isu lingkungan dalam program kerja 100 hari pertamanya. Memasuki pekan pertama Desember, waktu untuk merealisasikan janjinya sudah 50 hari berlalu.
Sementara di belahan dunia lain, sejumlah perusahaan besar yang biasa membeli produk-produk minyak kelapa sawit dan kertas produksi Indonesia, sudah banyak membatalkan kontrak pembelian. Sebab mereka yakin, produk kertas atau kelapa sawit itu dihasilkan dengan menciptakan konflik masyarakat, terbunuhnya beberapa penduduk, menghancurkan hutan, dan membinasakan orang utan dan binatang yang dilindungi lainnya.
*Diterbitkan Bahana Mahasiswa Universitas Riau, edisi Desember 2009
Malam itu, Nicholas hadir di camp pelindung iklim yang dibangun Greenpeace bersama masyarakat di Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau. Meski ransel di pundaknya lebih tinggi dari kepalanya, ia tetap tersenyum dan bersemangat. “Welcome to Indonesia,” kata seorang teman Indonesia sembari menjabat tangannya dengan hangat.
Nicholas bukan dapat pekerjaan baru atau baru memenangkan proyek yang akan mendatangkan uang lebih besar dari penghasilannya sebagai tukang kebun. Di Desa Teluk Meranti itu, ia justru mengangkat kayu jambu-jambuan (Myrtaceae) seberat lebih dari seratus kilogram dengan cara menyeretnya sejauh dua kilometer ke titik pengedaman kanal. Selain kayu sepanjang empat meter itu, ia juga rela mengangkut karung pasir seberat tujuh puluh kilogram sejauh tiga ratus meter. Itu dilakukannya berulang kali.
Nicholas bukan satu-satunya relawan asing Greenpeace yang ikhlas meluangkan waktu hanya sekadar mengangkat kayu dan mengangkut karung pasir. Mereka ada sekitar 15 orang yang berasal dari Belgia, Finlandia, Spanyol, Brazil, Thailand, Philipina, Australia, India, serta Selandia Baru. Namun relawan Greenpeace dari Indonesia lebih banyak lagi, sekitar 40-an orang. Mereka datang dari pulau Jawa, Kalimantan, termasuk Riau dan Medan.
Di Camp itu juga ada Bujang BK berusia 23 tahun. Di kampungnya, di Desa Kuala Cinaku, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, Bujang hanyalah tukang bangunan. Setamat kelas 5 SD, ia tak lagi melanjutkan sekolah karena penghasilan orang tuanya tak cukup. Kini, sehari-hari ia menjadi tukang di desanya. Ia pun hanya ahli memasang batu-bata, kuda-kuda, dan plester dinding.
Kehadirannya di camp Greenpeace itu diawali dari perkenalannya dengan aktivis lingkungan di desanya tahun 2007 lalu. Meski hanya tukang bangunan dan tidak tamat SD, Bujang sadar, hutan yang sudah rusak membuatnya berpikir ada pekerjaan yang lebih mulia. Walau pekerjaan itu tak menghasilkan uang atau membuatnya lebih kaya. “Aku jadi pecinta alam dan mau bergabung aksi di sini. Walau tanpa gaji alias relawan, aku rela demi masyarakat Riau dan dunia,” kata Bujang.
Apa yang dilakukan Nicholas dan Bujang adalah sebuah potret nyata, ada komitmen dari penghuni planet ini. Komitmen untuk menjaga agar hutan dan lingkungan tetap menghasilkan udara bersih. Udara bersih untuk anak dan cucu mereka. Tak peduli, mereka berasal dari negara asing, atau hanya tukang bangunan.
Malu rasanya menatap sorot mata mereka. Sementara pemerintah Indonesia tak juga sadar, kecuali sadar untuk berkata-kata.
Bertolak Belakang
Di Pittersburg, Rusia—dalam pertemuan G-20—Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara yakin menyatakan akan mengurangi produksi emisi karbon hingga 26 persen pada tahun 2020. Bahkan jika ada dukungan dari masyarakat internasional, pengurangan emisi karbon bisa mencapai 41 persen.
Dalam pemaparannya, Indonesia akan mencapai itu melalui lima langkah: penghentian deforestasi, pengendalian kebakaran hutan, pengawasan pembakaran lahan gambut, pengolahan daur ulang sampah, dan memaksimalkan penggunaan energi alternatif.
Memang tak heran, Presiden Indonesia yang menjabat kedua kalinya ini lebih senang berbicara daripada bertindak cepat. Sejumlah kalangan pun tak meyakini SBY akan mengurangi emisi karbon demikian besar di tahun 2020. Bahkan ketidakyakinan itu pun disampaikan menteri lingkungan Inggris saat berkunjung ke Riau pertengahan November lalu.
Teguh Surya, perwakilan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang hadir di pertemuan iklim PBB di Kopenhagen minggu kedua Oktober ini bahkan mengatakan, perwakilan Indonesia tak punya misi yang jelas. “Delegasi Indonesia tak paham dengan persoalan yang kita dihadapi,” katanya kepada Tempo, Jumat (11/12).
Kekaburan dari komitmen SBY terhadap pengurangan emisi karbon sangat jelas. Hal ini dibuktikan dengan perusahaan-perusahaan yang terus melakukan penghancuran hutan alam dan mengambil kayu alam untuk produksi kertas. Penghancuran hutan paling banyak berlangsung di Riau, Kalimantan, dan Papua.
“Ternyata di akhir tahun 2009 ini, peredaran kayu alam Riau kembali merajalela. Departemen Kehutanan secara diam-diam telah mengeluarkan 30 rencana kerja tahunan (RKT) kepada perusahaan kayu di Riau untuk menebang sekitar 23 juta meter kubik kayu,” demikian laporan Kompas, 2 Desember 2009.
Laporan itu juga secara detail dan gamblang menyebutkan kesibukan truk-truk kayu balak di sepanjang jalanan Riau. “Tak tanggung-tanggung, dari 30 RKT itu, Dephut telah memberi izin membabat 12 juta meter kubik kayu dari hutan alam. Bila berkunjung ke Riau saat ini, setiap saat Anda pasti akan berpapasan dengan truk-truk raksasa pengangkut kayu alam. “Kondisi ini persis seperti pada tahun 2003-2005, tatkala pembalakan liar tengah marak-maraknya.”
Di luar kebijakan pro-pengrusakan itu, apa yang terjadi di tempat penebangan? Berton-ton karbon dioksida akan lepas ke atmosfir dan menyebabkan efek rumah kaca. Ini kembali memperkuat pernyataan mantan Kepala BMG Riau, Blucher Doloksaribu, Juni lalu, bahwa suhu udara minimum di Riau meningkat dua derajat celsius dibanding kota-kota industri lain di Indonesia.
Sementara itu, Dewan Nasional Perubahan Iklim juga melaporkan bahwa pengeringan lahan gambut serta deforestasi merupakan penyebab utama tingginya tingkat emisi karbon Indonesia. Emisi karbon ini telah berkontribusi besar terhadap perubahan iklim global. Besaran emisinya mencapai 83 persen dari total emisi karbon Indonesia.
Lembaga ini juga menegaskan perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan aktivitas penebangan di Indonesia juga besar menyumbang emisi. Karena itu, institusi ini menawarkan penerapan kebijakan nol deforestasi (nol penghancuran hutan).
Masalah sudah diidentifikasi, solusi juga sudah ditawarkan, bahkan oleh lembaga bentukan presiden. Sejak dilantik, SBY berkomitmen menjadikan isu lingkungan dalam program kerja 100 hari pertamanya. Memasuki pekan pertama Desember, waktu untuk merealisasikan janjinya sudah 50 hari berlalu.
Sementara di belahan dunia lain, sejumlah perusahaan besar yang biasa membeli produk-produk minyak kelapa sawit dan kertas produksi Indonesia, sudah banyak membatalkan kontrak pembelian. Sebab mereka yakin, produk kertas atau kelapa sawit itu dihasilkan dengan menciptakan konflik masyarakat, terbunuhnya beberapa penduduk, menghancurkan hutan, dan membinasakan orang utan dan binatang yang dilindungi lainnya.
SBY, yakinkan kami bahwa Anda bisa berbuat dengan menghentikan aktivitas penghancuran sisa hutan alam oleh perusahaan. Segera.
*Diterbitkan Bahana Mahasiswa Universitas Riau, edisi Desember 2009
Langganan:
Postingan (Atom)