Rabu, Agustus 27, 2008

Negara Barat Harus Bertanya pada Julie

Sabtu (23/8), mustinya aku off. Ternyata tidak. Mulai sore hingga malam harus ku lalui dengan menyebalkan. Redaksi Pontianak lebih memilih menelpon aku, ketimbang tim skuad yang ada. Entah karena apa. Tapi memang menyebalkan, sebab, ini pertama kalinya aku mengurusi halaman dalam, hingga jam 23.30 WIB. Gila. Biasanya kerja sampai malam itu untuk mengisi halaman satu, itu pun untuk berita utama.

Persoalannya amat sederhana, redaksi Pontianak tidak berkomunikasi secara efektif. Begitu juga sebaliknya, skuad yang ada tidak mengkonfirmasi artikel yang terkirim. Tapi sudahlah. Toh aku juga skuad yang sama, meski off tapi (merasa) harus bertanggungjawab.

Menjelang tengah malam yang menyebalkan itu, ternyata di kala hati sedang berkecamuk karena terlambat makan lima jam, ada penawar yang jelita. Dia adalah Julie Langelier (29), perempuan cantik dan cerdas dari Quebec, Kanada. Ia bekerja sebagai relawan di satu lembaga swadaya masyarakat di Kalimantan Barat. Waktu itu, ia baru lima minggu di Indonesia.

Di lingkaran pasar Hongkong, Singkawang, malam itu, saya bersama empat teman Indonesia nongkrong sembari ngopi di satu gerobak makan. Kami berbincang tentang banyak hal. Serta-merta darahku berisi oksigen yang kemudian terpompa dengan cepat ke syaraf-syaraf otak. Semua menjadi tersambung, terang dan bersemangat, meski hari telah larut.

Kepintaran Julie, bungsu dari sembilan saudara ini sangat menonjol ketika berbincang. Mungkin karena dia mantan peserta pertukaran pelajar Indonesia-Kanada antara 1996-1997. Kepenatan dan kedongkolan hati langsung hilang ketika dia mulai berbagai cerita tentang kampungnya di Quebec, satu dari 10 provinsi di Kanada.

Ia lahir 1989, di provinsi yang mayoritas warga Perancis. Begitu juga dengan bahasa official-nya, juga Perancis. Kanada adalah negara federal dengan 10 provinsi, tiga di antaranya teritori. Provinsi terbesar di Kanada namun populasi terbanyak nomor dua setelah ibukota negara, Ontario.

Indonesia bagi Julie bukan hal yang asing lagi. Satu tahun ia habiskan semasa SMA di Bandung, Jawa Barat. Tahun 2007 lalu, ketika kembali bersemangat dengan memilih Indonesia sebagai negara untuk penempatan tugas sebagai volunteer. Padahal banyak negara berkembang di Asia dan Afrika yang ada dalam daftar negara yang dapat project dari LSM Kanada.

“Saya rencananya mau pilih Afrika Selatan atau Indonesia. Tapi karena saya suka Indonesia, saya pilih Indonesia,” katanya.

Namun sayang, Julie tidak bisa pergi karena negaranya mengeluarkan travel warning. Larangan itu dirilis dalam website pemerintah. Pertengahan tahun 2008, ia baru diperbolehkan terbang ke Indonesia.

“Saya kesal kenapa tidak bisa. Padahal di sini aman. Saya langsung email orang pemerintah (Kanada) di Jakarta. Empat orang sampai sekarang tidak balas email saya,” ujar Julie yang hingga malam itu, masih menahan geram pemberlakuan travel warning negaranya tahun 2007 silam.

Soal indikator aman atau tidaknya satu negara, memang menjadi politis dan terkesan sekadar ingin memenuhi syakwa sangka negara barat. Di samping itu, Indonesia adalah negera berpenduduk muslim terbesar. Sehingga perlu disikapi dengan memposisikan Indonesia dan mengendalikannya dengan opini-opini negatif.

Betul, ada ancaman kemanan atau tindak terorisme yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Namun melalui kaca mata Julie, warga negara Kanada sendiri, Indonesia sangat aman. Ia mengatakan, warga Indonesia justru terlalu bersikap khawatir sehingga sangat mempedulikan orang lain.

“Kalau saya keluar malam, orang di sini selalu bilang, kenapa malam-malam keluar dek. Nanti takut diapa-apakan orang. Jangan ambil taksi di terminal nanti bayarnya mahal. Jadi saya pikir di sini sangat aman,” kata Julie.

Gembar-gembor media barat dan kebijakan negara-negara sekutunya tentang keamanan Indonesia tidak ada jaminan, ditepisnya dengan diplomatis.

“Kenapa mereka bilang Indonesia tidak aman. Di India, bom terdengar hampir setiap minggu. Tapi dibilang bukan teroris. Di India, kalau perempuan jalan malam-malam, laki-lakinya pasti pegang ini (payudara) perempuan. Ihh...,” ujarnya.

Seharusnya, negara-negara barat belajar dari warganya sendiri. Begitu juga dengan media-media barat. Julie sendiri, meski bukan warga Indonesia, ia selalu mempromosikan Indonesia kepada keluarganya.

“Bapak saya datang ke Bali beberapa waktu lalu. Mereka penasaran dengan apa yang saya sampaikan tentang Indonesia yang aman,” katanya. (*)

Tidak ada komentar: